top of page
Dewi Saputri

Problematika RUU Penyiaran : Jurnalis Terancam Tenggelam!



Draft Revisi Undang-Undang Penyiaran yang Menuai Banyak Protes


Komisi 1 DPR saat ini tengah merevisi rancangan undang-undang penyiaran di badan legislatif DPR (baleg DPR) pada Maret 2024. Rancangan undang-undang yang direvisi adalah undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 yang mengatur tentang penyiaran. RUU tersebut menuai protes dari beberapa pihak, salah satunya ketua dewan pers, yaitu Ninik Rahayu. Pada saat konferensi pers, Ninik Rahayu menyampaikan ia menghormati RUU penyiaran, namun ia mempertanyakan mengapa UU Pers nomor 40 tahun 1999 tidak dimasukkan dalam konsideran RUU penyiaran. Ninik juga mengatakan draft revisi UU penyiaran ini akan menghilangkan independensi pers dan membuat pers menjadi tidak profesional.


Sejumlah Pasal Kontroversial dan Bertentangan dengan Dewan Pers


Sejumlah pasal kontroversial diantaranya pasal 50 b ayat 2 poin c mengenai larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Sejatinya, investigasi merupakan jantung jurnalis, namun RUU sepertinya ingin menghilangkan konten investigasi, yang mana konten investigasi sangat krusial dengan kasus-kasus besar yang melibatkan pejabat. Selain itu, pasal tersebut juga bertentangan dengan pasal 28f yaitu setiap orang berhak untuk memperoleh informasi dan menyampaikan informasi dari berbagai saluran tersedia. Sayangnya, RUU tidak merujuk pada pasal 28f. Sehingga demikian pasal ini harus ditolak karena dapat menghambat demokrasi serta membatasi masyarakat untuk mendapatkan berita yang aktual.


Berikutnya pasal 50b ayat (2) poin k mengenai larangan membuat konten penyiaran yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama. Sebelum RUU penyiaran direvisi, pers sendiri sudah ada undang-undang yang mengatur penyiaran yaitu pasal 4 Ayat 2 yang menyatakan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Artinya, undang-undang pers mengizinkan untuk tidak melakukan penyensoran, sepanjang karya pers/jurnalistik memegang prinsip kode etik dan berdasarkan fakta serta data yang benar maka itu tidak akan masalah.


Adapun pasal berikutnya yang dinilai tumpang tindih adalah pasal 8a ayat 1 poin q dan pasal 42 ayat 2 mengenai wewenang komisi penyiaran Indonesia (KPI) dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran. Serta pasal lainnya yaitu pasal 51e mengenai penyelesaian sengketa yang diputuskan oleh KPI dapat melalui pengadilan. Pasal-pasal tersebut dinilai tumpang tindih karena yang berhak mengatur sengketa pers adalah dewan pers. Sejatinya, pers merupakan lembaga Independen yang dikendalikan oleh dewan pers. Namun, revisi UU penyiaran tampaknya memperluas wewenang KPI dan menghilangkan peran dewan pers dalam menyiarkan karya jurnalistik.


Tidak Relevan dengan Undang-Undang Pers


Berdasarkan draft revisi undang-undang penyiaran, tidak terdapat sedikitpun pasal yang berkaitan dengan undang-undang pers. Tanpa latar belakang yang jelas, komisi I DPR merevisi draft penyiaran tersebut dengan tidak menjadikan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 sebagai rujukan utama dalam penyusunan pasal yang mengatur tentang penyiaran karya jurnalistik. Akibatnya, terdapat sejumlah pasal yang bertentangan dengan undang-undang pers serta tumpang tindih antara dewan pers dan juga KPI. Selain itu, draft revisi tersebut juga berpotensi mempersempit ruang jurnalis baik luring maupun daring dan mengancam kebebasan pers.


Penyiaran Investigasi Diawasi KPI, Independensi Jurnalis Dimatikan!


Inti dari RUU penyiaran ini adalah memperluas wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)yang sebelumnya hanya sebatas mengatur frekuensi radio dan televisi, hingga sekarang mengatur penyiaran konten jurnalistik di platform digital. Imbas dari bertambahnya wewenang KPI, dinilai dapat mengebiri sengketa jurnalistik dan berpotensi akan membahayakan independensi pers Indonesia. RUU penyiaran membuat KPI mempunyai regulasi untuk mengatur konten-konten jurnalistik investigasi.


Pers yang sebelumnya lembaga independen perlahan-lahan akan memudar jika RUU disahkan. KPI belum tentu menjamin penyiaran karya jurnalistik bersifat independen, karena KPI mempunyai wewenang dalam mengatur mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dalam penyiaran karya jurnalistik. RUU penyiaran membuat KPI mempunyai kekuatan untuk mendominasi narasi dan membungkam suara jurnalis. Akibatnya, jurnalis yang sifatnya independen akan terpinggirkan dan kehilangan platform mereka.


Jurnalistik Investigasi itu Watchdog nya Pemerintah


Jurnalistik investigasi disebut sebagai “watchdog” nya pemerintah karena melalui jurnalis investigatif masyarakat bisa mendapatkan informasi yang dapat digunakan untuk mengawasi tindakan lembaga pemerintah dan individu. Jika RUU penyiaran ini disahkan, tentu saja liputan jurnalistik investigasi akan dilarang. Hal ini jelas merugikan masyarakat, karena masyarakat berhak untuk mendapatkan informasi yang akurat dari sumber yang kredibel. Dengan tidak adanya penyiaran jurnalis investigasi, masyarakat tidak dapat mengkawal dan meminta pertanggungjawaban dari kebijakan pemerintah yang telah mereka pilih. Hal ini juga membuat akuntabilitas pejabat publik perlahan-lahan menghilang. Tanpa adanya akuntabilitas pejabat publik maka, banyak pelanggaran yang tidak diketahui dan ditangani, sehingga pelaku tidak mendapatkan konsekuensi.Oleh karena itu, jurnalistik investigatif berperan dalam mengungkap hal baru dari sebuah persoalan yang belum banyak diketahui publik. Produk jurnalisme investigasi sering sekali menjadi alat alternatif untuk mengkawal serta membongkar praktik kejahatan atau penyimpangan tindakan pejabat publik. Contohnya kasus pemberantasan korupsi, dirty vote dan bocor halus tempo.


Pers Rentan Mendapat Ancaman dan Intimidasi Hukum


Pembatasan seringkali disertai dengan ancaman hukum, yang mana pembatasan tersebut berkaitan dengan pasal 50b ayat 2 poin c mengenai larangan penayangan konten jurnalis investigasi. Artinya RUU penyiaran berpotensi untuk memberikan ancaman hukuman terhadap jurnalis yang menayangkan konten investigasi. Padahal jurnalis yang menayangkan konten investigasi akan membantu masyarakat untuk mengetahui dan mengawal kasus-kasus besar pejabat publik, contohnya kasus korupsi. RUU penyiaran tampaknya tidak ramah dengan jurnalis independen. Sehingga membuat para jurnalis merasa terintimidasi dengan konten investigasi yang mereka tayangkan. Oleh karena itu, untuk menghindari intimidasi dan tuntutan, jurnalis independen akan bungkam dan berhenti melaporkan kebenaran. Meski begitu, melakukan investigasi ini sangatlah penting,dan masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan informasi mengenai isu-isu penting yang melibatkan pemerintah. Dengan terbatasnya penyiaran jurnalisme investigatif serta wewenang KPI dalam menentukan apa yang boleh dan tidak boleh disiarkan mengenai karya jurnalistik akan membuat jurnalis tidak bisa memberitakan secara bebas. Alih-alih ingin memberitakan kebenaran, justru terkena pelanggaran dan tuntutan.


 

Referensi:





50 views0 comments

Comments


Submit Tulisanmu

Kirimkan tulisan Anda dan jadilah bagian dari komunitas kami yang berkontribusi dalam berbagai topik menarik yang kami sajikan kepada pembaca setia kami.

bottom of page