Di paruh kedua tahun 2023 ini, Amerika Serikat sering kali menggemparkan dunia dengan berita penembakan massal di berbagai negara bagiannya. Rentetan peristiwa tersebut kerap dikaitkan dengan masalah kesehatan mental yang dimiliki oleh para pelaku. Namun, apakah benar hal tersebut saling berhubungan?
Gangguan Mental di Amerika Serikat
Jeffrey Swanson, seorang profesor di Psikiatri dan Ilmu Perilaku Universitas Duke, mengungkapkan bahwa stigma yang terjadi di masyarakat AS merupakan kesimpulan yang problematis. Sebab, orang-orang dengan gangguan mental sudah mengalami kehidupan yang sangat sulit, kemudian harus menghadapi diskriminasi di beberapa bidang, seperti dalam hubungan profesional dan personal.
Gangguan Mental dan Kasus Penembakan Massal di Amerika Serikat
Beberapa penembakan massal dan tindak kekerasan yang brutal memang dilakukan oleh orang-orang yang mengalami gangguan mental serius di AS, misalnya pada tahun 1985, Wendell Williamson, seorang mahasiswa hukum yang didiagnosis dengan penyakit skizofrenia paranoid, menembak mati dua orang asing di Chapel Hill, North Carolina.
Gangguan Mental Bukan Penyebab Terjadinya Penembakan Massal
Namun, kasus-kasus, seperti Wendell sedikit sekali. Bahkan, hanya sedikit pelaku penembakan massal yang benar-benar didiagnosis menderita gangguan mental serius seperti skizofrenia, gangguan bipolar, dan gangguan spektrum psikotik.
Dr. Girgis, seorang ahli studi penyakit mental dari Pusat Pencegahan dan Evaluasi Columbia, mengungkapkan bahwa hanya terdapat relevansi sekitar 5% antara penembakan massal dengan gangguan mental yang serius.
Rata-rata kekerasan yang dilakukan oleh orang dengan gangguan mental serius biasanya adalah pelanggaran ringan, seperti serangan verbal atau fisik berupa memukul bukan membunuh korban. Pelanggaran seperti itu juga cenderung terjadi pada mereka yang tinggal dengan pelaku, bukan pada orang asing dan tidak dalam skala masif. Selain itu, individu yang menderita gangguan mental justru lebih rentan menjadi korban kekerasandan diskriminasi.
Menurut Profesor Swanson, sulit untuk membuat dan mempelajari profil penembak massal secara psikologis karena mereka sering melakukan tindakan bunuh diri atau terbunuh dalam serangan mereka. Namun, apa yang dapat disimpulkan oleh para ahli bahwa pelaku dari peristiwa semacam itu acap kali merupakan pemuda yang marah karena diperlakukan tidak adil oleh masyarakat sehingga berusaha untuk melakukan upaya balas dendam.
Bahkan, beberapa pembunuh massal telah mengunjungi psikiater sebelum melakukan serangan, tetapi hasilnya tidak didiagnosa mengidap gangguan mental tertentu. Sebagian besar dari mereka juga tidak menginginkan pengobatan dan tidak memenuhi kriteria untuk perawatan.
Oleh karena itu, tindakan penembakan massal tidak serta merta dilakukan oleh pelaku yang mengalami gangguan mental. Akan tetapi, pelaku penembakan massal yang kerap kali terjadi di AS lahir dari motif rasa dendam atau motif personal lainnya dari perjalanan kehidupan yang dialami oleh pelaku, misalnya ketidakadilan, diskriminasi, dan perlakuan-perlakuan yang mengarah kepada merendahkan pelaku di masa lampau sehingga melahirkan sebuah rasa dendam dan kebencian di dalam dirinya.
Referensi:
Columbia University Irving Medical Center. (2022). Is There a Link Between Mental Health and Mass Shootings?. Retrieved from https://www.columbiapsychiatry.org/news/mass-shootings-and-mental-illness
Glaberson, W. (1998). Killer Blames His Therapist, and Jury Agrees. Retrieved from https://www.nytimes.com/1998/10/10/us/killer-blames-his-therapist-and-jury-agrees.html
Nuwer, R. (2018). Apa Hubungan antara Penembakan Massal dan Penyakit Mental? Retrieved from https://www.bbc.com/indonesia/vert-fut-44371255
Comentários