Kualitas Pendidikan Buruk, Salah Guru?
Guru menjadi salah satu aspek terpenting dalam kemajuan pendidikan di sebuah wilayah. Perannya amat krusial sehingga dibutuhkan keterampilan dan kompetensi yang mendukung. Kualitas pendidikan di Indonesia dapat dikatakan masih sangat buruk. Mungkinkah negara ini kekurangan tenaga pendidik? Ataukah para guru begitu tidak berkualitas hingga tak mampu memenuhi kebutuhan siswa? Beberapa pertanyaan seperti itu muncul ketika sebuah fenomena terjadi dan simpang siurnya informasi yang beredar hingga akhirnya menyalahkan. Namun, apakah guru sepenuhnya salah dan menjadi satu-satunya pihak yang harus bertanggung jawab?
Inovasi Terhalang Tembok Bernama Administrasi
Guru memang berkuasa penuh dalam menyusun rancangan pembelajaran maupun ketika menjalankannya di kelas. Pembelajaran harus dibuat menyenangkan agar siswa tidak merasa bosan. Untuk mewujudkannya, guru dituntut selalu berinovasi menyesuaikan dengan kondisi yang sedang dihadapi. Akan tetapi pada kenyataannya sulit untuk melakukan hal tersebut dikarenakan beban administrasi yang bak tembok cina.
Tugas utama guru adalah membimbing dan mendidik siswa. Namun yang terjadi, guru kerepotan mengurus hal-hal di luar pengajaran. Mulai dari mengolah nilai hingga membuat rancangan pembelajaran (RPP). Beban bertambah lagi, di kurikulum terbaru Kurikulum Merdeka, guru harus mengurus Sasaran Kerja Pegawai (SKP) secara mandiri yang tadinya dikelola oleh operator sekolah.
Guru terlalu fokus kepada berkas administrasi yang wajib dilengkapi. Berpuluh-puluh halaman rancangan dan modul belajar terbaik telah disusun, tak dapat terlaksana secara maksimal dan sesuai harapan karena guru terlalu lelah untuk mengajar. Akhirnya, siswa terabaikan.
Memburu Sertifikat, Kualitas Meningkat?
Masalah kompetensi guru tak ketinggalan disoroti. Untuk mengatasinya, pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan mewajibkan para guru memiliki berbagai sertifikat pelatihan untuk melengkapi sekian angka kredit yang harus dipenuhi sekaligus meningkatkan kompetensi. Pembuat kebijakan memang mengatakan kegiatan ini opsional untuk dilakukan. Tapi pada kenyataannya, jika tak ingin dipotong gaji, guru terpaksa mengikuti. Orientasi dan tujuan pun berubah. Bukan lagi sebagai sarana belajar dan berbenah, pelatihan diikuti sebagai syarat sah saja.
Kualitas guru seakan hanya dilihat dari banyaknya sertifikat yang dimiliki tanpa mempertimbangkan apakah guru tersebut benar-benar mengikuti pelatihan dan menyerap ilmu untuk diimplementasikan dalam rangka menunjang tugasnya mendidik siswa agar lebih baik. Hasilnya, para guru berbondong-bondong mengikuti berbagai seminar dan pelatihan. Tentu bukan menambah keterampilan yang ingin didapat, tetapi semata mengincar sertifikat. Rasanya, kata “formalitas” cukup untuk menggambarkan kegiatan memburu secarik tanda pengakuan tersebut.
Perubahan kebijakan tak diikuti perbaikan akses pendidikan yang merata. Misalnya, semua tugas serba digital. Sebelum langsung masuk kepada tugas memusingkan, alangkah lebih baik memberikan pelatihan dan seminar bagi guru yang belum cakap melakukan kerja digital. Selain itu, tak semua guru se-Indonesia cukup beruntung karena memiliki akses internet dan fasilitas pendukung. Bisa memiliki ruang kelas dan papan tulis saja sudah alhamdulillah.
Jangan Mengeluh, Ini “Pengabdian”!
Tugas yang amat berat mestinya dibayar dengan harga sepadan. Namun, dengan sederet tuntutan hingga saat ini masih banyak ditemukan guru dengan upah minimum yang bahkan tak cukup untuk membeli kebutuhan harian. Penyelesaian tak kunjung datang sehingga yang dapat dilakukan hanyalah tabah dan membohongi diri bahwa ini adalah bentuk pengabdian. Tak boleh protes, tugas mulia ini akan dibalas surga!
Bayangkan, siapa yang rela bekerja dengan sepenuh hati jika tak diapresiasi dengan baik? Peran guru dikatakan penting tetapi pemerintah sama sekali tak mementingkan kehidupan para guru. Tak sedikit guru yang memiliki kerja sampingan untuk menyambung hidup, mana sempat mencari sertifikat?
Berharap Tinggi Dengan Upah Rendah, Pemerintah Bisa Apa?
Guru memang bukan satu-satunya pihak yang dapat disalahkan. Tetapi, tetap saja kualitas guru bisa menjadi salah satu faktor penyebab sulitnya memajukan pendidikan. Maka guru sebagai pendidik, pihak yang berhadapan dengan siswa secara langsung dan tahu betul keadaan di lapangan juga harus siap menghadapi berbagai perubahan dan tantangan dengan meningkatkan kualitas diri dan kompetensi.
Kemajuan pendidikan menjadi tanggung jawab utama pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan pemegang kekuasaan utama. Bila masih tak sanggup memenuhi kewajiban dengan memberikan upah layak, setidaknya tidak menyusahkan dengan pergantian kebijakan tiap berganti menteri yang entah telah berapa kali terjadi. Di sisi lain, pemerintah juga harus tahu diri. Selagi kesejahteraan guru tak terjamin, jangan harap pendidikan dapat berkembang signifikan.
Referensi:
CNN Indonesia. (2020, April 4). Jokowi Nilai Beban Administrasi Guru Jadi Masalah Pendidikan. Retrieved on June, 26 from https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200403130737-20-490007/jokowi-nilai-beban-administrasi-guru-jadi-masalah-pendidikan
Mojok. (2024, Jan 29). Mirisnya Penerapan Kurikulum Merdeka di 2024, Siswa Sampai Mencari Guru yang “Hilang” karena Sibuk Administrasi. Retrieved on 28 June from https://mojok.co/liputan/ragam/mirisnya-penerapan-kurikulum-merdeka-bikin-lupa-mendidik/
Yudhistira, R., dkk. 2020. Pentingnya Perkembangan Pendidikan di Era Modern. Prosiding Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia. Retrieved on 28 June from https://jurnal.umj.ac.id/index.php/SAMASTA/article/view/7222
Comments