top of page
Dinda Adiliya

Kontroversi RUU TNI dan Polri, Dari Dwifungsi Hingga Pelanggaran Privasi



Bombardir Aturan Tak Masuk Akal


Kemunculan Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri menambah daftar panjang kebijakan dan aturan tak masuk akal. Revisi UU yang baru saja disetujui pada rapat Paripurna DPR RI ini bikin geleng kepala karena banyak pasal yang terindikasi hanya menguntungkan satu pihak saja dan dapat merugikan masyarakat biasa.


RUU yang disusun secepat kilat ini menimbulkan pernyataan, apakah memang betul-betul diperlukan, ataukah karena haus kekuasaan?


Usia Pensiun Mundur, Regenerasi Kendur


RUU TNI dan RUU Polri mengatur batas pensiun anggota polisi dan tentara yang pada awalnya adalah 55 tahun, kemudian naik menjadi 58 hingga pada RUU terbaru disepakati batas usia pensiun, yakni menjadi 60 tahun. Bahkan anggota TNI dan Polri dengan jabatan fungsional dapat bertugas hingga usia 65 tahun. Selain itu, RUU Polri juga mengatur batas usia pensiun Kapolri yang dapat diperpanjang melalui Keputusan Presiden (Keppres) atas persetujuan DPR.


Aturan yang akan berlaku ini membuat anggota TNI dan Polri disetarakan kedudukannya dengan ASN. Padahal, tugas dan tanggung jawabnya saja sangat berbeda dengan ASN pada sektor lain sehingga aturan pensiun tak dapat disamaratakan. Dalam menjalankan tugasnya, seorang tentara dan polisi lebih banyak melibatkan aktivitas fisik dan memerlukan tubuh yang kuat dan prima. Penambahan batas usia pensiun tersebut dapat mempengaruhi efektivitas kerja.


Perpanjangan masa pensiun tentunya dapat menghambat regenerasi. Para bawahan tidak dapat berkembang karena tak kunjung naik jabatan. Hal ini bukan hanya menimbulkan kecemburuan, tetapi juga rotasi jabatan akan berjalan stagnan dan kepemimpinan mandek di situ-situ saja. Akhirnya terjadi penumpukan personel dan akan banyak perwira aktif tanpa tugas (non job).


Dwifungsi ABRI is Back!


Tentara seharusnya bertugas untuk menjaga pertahanan dan stabilitas negara. Namun Pasal 47 ayat (2) RUU TNI mengatakan, prajurit aktif boleh menempati jabatan sipil di kementerian tertentu atas izin presiden. Mengacu pada RUU tersebut, prajurit TNI aktif dapat menjabat setidaknya di 10 bidang kementerian atau lembaga negara. Namun, prajurit TNI hanya akan dapat menduduki jabatan tersebut bila adanya permohonan dari pimpinan kementerian dan lembaga nonkementerian.


Sungguh mengingatkan kita pada memori masa lalu, bukan? Begitu ditetapkannya RUU ini, bayang-bayang Orde Baru muncul lagi ke permukaan. RUU ini mencederai semangat reformasi yang menghapus dwifungsi militer dalam sektor sipil dan bidang politik praktis.


Aturan ini hanya akan memperluas kewenangan yang tidak sesuai dengan tujuan utama dibentuknya TNI, yakni sebagai alat pertahanan. Kalau tentara sibuk mengurus hal lain di luar tugas utamanya, bagaimana bila datang ancaman berbahaya tak terduga?

Selain itu, dengan diperbolehkannya prajurit aktif berada dalam jabatan sipil dapat mempersempit peluang kerja ASN yang memang berkarir di sektor tersebut.


Apapun Masalahnya, Blokir Solusinya


Bila RUU ini resmi menjadi Undang-undang, anggota polisi berwenang memutus akses internet, menyadap, memblokir, hingga melakukan sensor secara sepihak dalam rangka menjaga keamanan ruang siber. Hal ini tertuang dalam RUU Polri Pasal 14 Ayat 1. Padahal pada tahun 2020, rezim Jokowi pernah dinyatakan bersalah karena memutus akses internet di Papua. Alasannya, saat itu sedang terjadi kerusuhan dan pemerintah berupaya mencegah penyebaran berita hoaks dan meredam konten provokatif yang beredar di internet.


Sudah jelas aturan ini melanggar hak privasi masyarakat. Bila tak dibarengi dengan pengawasan, rentan timbul power of abuse untuk merebut kebebasan masyarakat dengan dalih menjaga keamanan. Meski pada aturan tertulis dibutuhkan koordinasi dengan kementerian terkait, yakni Kemenkominfo, anggota polisi tetap dapat semena-mena memutus akses informasi kapan saja, termasuk ketika terjadi pelanggaran yang dilakukan negara. Akses informasi diputus, masyarakat pun sulit mengetahui apa yang sedang terjadi.


Buanglah Anggaran Pada (bukan) Tempatnya


Perpanjangan masa jabatan dan penempatan kerja pada sektor kementerian hanya akan menambah anggaran yang mestinya dapat dialokasikan kepada hal lain yang lebih urgent. Begitu banyak permasalahan yang perlu diprioritaskan dan berbagai pelanggaran yang belum terselesaikan. Salah satunya kekerasan terhadap masyarakat sipil yang kerap kali dilakukan anggota TNI dan Polri.


Daripada membuang anggaran pada hal yang tak diperlukan, lebih baik dialokasikan kepada hal lain. Misalnya untuk pengadaan alutsista ataupun pembinaan anggota dalam rangka memperkuat militer dan keamanan Indonesia.

 

Referensi:






2 views0 comments

Comments


Submit Tulisanmu

Kirimkan tulisan Anda dan jadilah bagian dari komunitas kami yang berkontribusi dalam berbagai topik menarik yang kami sajikan kepada pembaca setia kami.

bottom of page