Segregasi Antar Kelas Masyarakat di Kawasan Pantai Indah Kapuk
Permukiman di kawasan PIK (Pantai Indah Kapuk) baru-baru ini menuai sorotan dari netizen karena terdapat sebuah tembok setinggi 5 meter yang membatasi permukiman kelas mewah dengan permukiman masyarakat kampung sekitar. Banyak orang menilai, berdirinya tembok tersebut menimbulkan segregasi antara masyarakat yang tinggal di dalam permukiman PIK dan masyarakat kampung sekitar.
Berkembangnya Gated Community sebagai Penyebab Timbulnya Segregasi
Fenomena segregasi pada wilayah permukiman tidak hanya terjadi di PIK saja, nyatanya segregasi terjadi di sebagian besar wilayah perkotaan di Indonesia bahkan juga di pedesaan. Segregasi pada permukiman umumnya identik pada wujud permukiman yang dikenal sebagai gated community.
Gated community diartikan sebagai kawasan permukiman yang memiliki akses masuk terbatas di mana ruang publik yang ada di dalamnya bersifat privat. Gated community menciptakan pola jalan dan barikade, baik berupa pintu masuk yang dijaga maupun pagar yang memisahkan penghuni di dalam permukiman dan masyarakat sekitar di luar permukimannya.
Dalam hal ini, adanya pemisahan tersebut mendorong berkembangnya apa yang kemudian dikenal sebagai segregasi spasial atau suatu fenomena sosial yang dihadapi oleh setiap masyarakat perkotaan, seperti masyarakat umumnya memiliki kecenderungan untuk hidup berdekatan dengan orang-orang yang memiliki kesamaan dengan mereka.
Fenomena Segregasi Spasial di Kawasan PIK
Segregasi spasial sebagaimana dikemukakan oleh Firman (2004), dapat berwujud ke dalam tiga bentuk, yaitu:
Segregasi spasial antara perumahan skala besar dengan lingkungan permukiman di sekitarnya.
Segregasi spasial antar kluster di dalam segregasi spasial oleh perbedaan pengelolaan sistem perumahan.
Spasial yang terjadi di perumahan skala besar.
Dalam kaitannya dengan permukiman PIK, bentuk segregasi yang paling nyata adalah pengasingan yang terjadi antara permukiman mewah dan masyarakat kampung sekitar.
Segregasi ini terjadi akibat adanya penyekatan gaya hidup yang terkesan eksklusif dibandingkan wilayah sekitarnya yang ditandai dengan pembangunan tembok yang tinggi dan pemisahan akses jalan serta sarana & prasarana di dalam PIK yang bersifat lebih private atau eksklusif dengan fasilitas yang lebih baik.
Dampak Adanya Segregasi Spasial terhadap Masyarakat Luas
Adanya gated community yang menjadi cikal-bakal berkembangnya segregasi spasial sejatinya menimbulkan permasalahan-permasalahan tersendiri, antara lain:
Menghalangi dan mengurangi keleluasaan publik untuk berbagi layanan fasilitas atau ruang publik yang semestinya dapat digunakan secara komunal.
Terjadinya fragmentasi atau pemutusan hubungan dan kontrak sosial dalam masyarakat.
Memupuk timbulnya sifat individualis, kecemburuan, dan mengurangi rasa tanggung jawab dalam masyarakat.
Melemahkan hubungan komunitas di masyarakat dikarenakan berkurangnya interaksi antar komunitas dalam masyarakat dalam menjaga keamanan dan kualitas kehidupan.
Terbatasnya Hunian yang Layak Picu Fenomena Segregasi Spasial Pada Permukiman Mewah
Segregasi spasial merupakan refleksi dari adanya kesenjangan kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang didukung oleh penyediaan perumahan yang didasarkan pada permintaan pasar.
Salah satu faktor lain yang berkontribusi terhadap berkembangnya segregasi spasial pada permukiman di Indonesia adalah kebijakan pemerintah yang belum mampu mendukung dan memenuhi kebutuhan akan hunian yang terjangkau yang dilengkapi dengan infrastruktur dan fasilitas baik, layak, dan memadai bagi seluruh kalangan.
Belum terpenuhinya kebutuhan tersebut, menjadikan peluang bagi perusahaan pengembang untuk membangun dan mewujudkan hunian dengan fasilitas yang ditargetkan khusus bagi kawasan kelas menengah ke atas dalam wujud gated community yang kemudian memicu timbulnya fenomena segregasi.
Hunian Berimbang Sebagai Solusi Fenomena Segregasi yang Terjadi
Fenomena segregasi sejatinya dapat ditekan melalui kebijakan yang mendukung adanya permukiman yang terjangkau dengan fasilitas yang layak dan memadai.
Pemerintah sendiri sebenarnya telah memiliki kebijakan dengan semangat serupa yakni Hunian Berimbang yang ada dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Hunian Berimbang sendiri merupakan kewajiban pengembang untuk membangun perumahan atau lingkungan hunian yang dibangun secara berimbang antara rumah mewah, rumah menengah, dan rumah sederhana dengan perbandingan 1:2:3. Hunian Berimbang diharapkan mampu memenuhi lebih banyak kebutuhan rumah terjangkau dengan fasilitas yang layak bagi masyarakat.
Pekerjaan Rumah yang Besar bagi Pemerintah Kedepannya
Namun demikian, dalam implementasi hunian berimbang masih jauh dari kata ideal, sebab hingga saat ini masih sedikit pembangunan perumahan yang menerapkan konsep hunian berimbang.
Adanya pembangunan gated community di PIK dan kontroversi yang menyelimuti mengisyaratkan pada pemerintah pentingnya untuk segera merealisasikan Hunian Berimbang guna mencegah erosi hubungan komunal dalam masyarakat dan mencegah berkembangnya segregasi sosial.
Referensi:
Asiz, R. F. (2008). Fenomena Gated Community Di Perkotaan. Retrieved from https://lib.ui.ac.id/file?file=digital/125213-050821.pdf
Diningrat, R. (2015). Segregasi Spasial Perumahan Skala Besar: Studi Kasus Kota Baru Kota Harapan Indah (KHI) Bekasi. Retrieved from https://doi.org/10.5614/jpwk.2015.26.2.4
Maharani, S. (2015). Pembangunan-Perumahan-Dengan-Hunian-Berimbang. Retrieved from https://media.neliti.com/media/publications/233674-pembangunan-perumahan-dengan-hunian-beri-7d8367bc.pd
Wiranegara, H. W., Situmorang, R., et al. (2021). The Effect of Housing Policies on Housing Segregation in Indonesia. Retrieved from https://doi.org/10.1088/1755-1315/737/1/012064
Zahira, N. (2023). Di Balik Pembangunan PIK 2, Ada Tembok Tinggi Yang Tutup Akses Warga. Retrieved from https://katadata.co.id/tiakomalasari/berita/64c9e5b4bf260/di-balik-pembangunan-pik-2-ada-tembok-tinggi-yang-tutup-akses-warga
תגובות