Bajakan Sama Dengan Merugikan!
Pembajakan buku sudah menjadi fenomena lazim yang dapat dengan mudah dijumpai dimana saja. Mulai dari toko-toko buku terdekat, marketplace, sampai dunia kampus tempatnya para kalangan terpelajar tak luput dari adanya praktik pembajakan buku.
Buku bajakan telah menjadi masalah serius dalam dunia penerbitan dan belum terselesaikan hingga kini. Berdasarkan data Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), kerugian telah mencapai lebih dari Rp100 miliar pada tahun 2019.
Pertanyaannya, apakah pemerintah telah melakukan upaya serius untuk pencegahan hal tersebut?
Undang-Undang Hak Cipta Menjawab!
Indonesia sudah mempunyai payung hukum pada UU No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dalam Pasal 9 ayat (3), setiap orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan penggandaan dan/atau penggunaan secara komersial Ciptaan.
Lebih lanjut untuk menindak para pembajak, pidana penjara dapat dijatuhkan paling lama 1 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah) (Pasal 113 ayat (1))
Bagaimana Realita yang Terjadi?
Walaupun telah diatur sedemikian rupa, sayang realita yang terjadi di lapangan masih jauh dari harapan semestinya. Buku bajakan masih terus beredar hingga sampai online marketplace yang telah dibeli ribuan orang.
Kenapa buku bajakan masih eksis hingga kini?
Ketidaktahuan atau kurangnya kesadaran masyarakat soal buku bajakan.
Biaya yang lebih murah
Penegakan hukum yang belum serius
Dukungan Atas Kemanusiaan
Asif Kapadia, pemenang best feature documentary di Oscar tahun 2015 berpendapat pidato Jonathan Glazer sangatlah kuat karena mewakili orang-orang yang tidak memiliki suara, kekuatan atau orang-orang yang terlalu takut untuk berbicara. Beberapa dukungan lain muncul dari kalangan filmmaker seperti Jesse Peretz (Juliet, Naked), Boots riley (Fremont) dan Zoe Kazan (The Monster). Di sisi lain, lebih dari 1000 pekerja kreatif berketurunan Yahudi menulis surat terbuka yang mengecam pidato Jonathan Glazer di pagelaran Oscar.
Lalu Apa Saja Dampaknya?
Kerugian Finansial
pembajakan buku bukan sekadar masalah keuangan bagi penerbit dan penulis. Namun lebih dari itu, buku bajakan merusak ekosistem keseluruhan industri penerbitan. Mereka merampas pendapatan yang seharusnya digunakan untuk mendukung penulis, mendorong inovasi, dan memelihara keberlanjutan industri.
Hilangnya Inovasi dan Kreatifitas
seorang penulis yang telah bekerja keras untuk menyelesaikan sebuah karya. Ketika buku bajakan menjadi budaya, penulis dan penerbit memiliki sedikit insentif untuk terus menghasilkan karya berkualitas tinggi. Ini berdampak pada penurunan dalam produksi karya-karya yang mempengaruhi intelektualitas dan kekayaan budaya kita. Ketika karyanya dibajak, itu adalah pengkhianatan terhadap proses kreatifnya dan penghargaan atas upaya yang telah ia lakukan.
Ciri-Ciri Buku Bajakan
Untuk menghindari buku bajakan, paling tidak kamu bisa melihat ciri-ciri dibawah ini:
Warna rupa sampul yang berbeda dan terlihat aneh.
Kualitas kertas dan tinta yang rendah.
Bagian perekat dan tulisan halaman yang miring/tidak rapi.
Harga yang murah dan tidak masuk akal (biasanya dibawah 50.000).
Apapun ceritanya apapun alasannya membajak buku dan ikut menikmatinya adalah kejahatan dan tidak pantas dinormalisasikan.
Argumen umum yang sering dipakai adalah harga murah bagi konsumen untuk bahan bacaan tanpa biaya yang tinggi. Kita harus bertanya pada diri sendiri, apakah keuntungan sebentar ini sebanding dengan kerugian jangka panjang yang ditimbulkannya? Kita perlu mempertimbangkan hak moral dari pencipta dan penerbit untuk mendapatkan imbalan atas karya mereka.
Be smart. Jadilah pintar tanpa merugikan orang lain. Bagaimana menurut teman pengamat?
Referensi:
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
Comments