top of page
Nur Ramadhani

Biaya UKT Tinggi, Pinjol Adalah Solusi?



Alasan yang Tidak Masuk Akal


Praktik Pinjaman Online (Pinjol) sejauh ini telah meresahkan masyarakat Indonesia, tak sedikit dari masyarakat kita yang hidupnya harus terlilit hutang akibat pinjol. Namun, alih-alih memberantas hal tersebut, Pemerintah melalui pernyataan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy justru mendukung mahasiswa untuk membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) melalui pinjol.


Menurutnya, pinjol menjadi salah satu cara dalam mengurangi beban biaya kuliah. Melalui pinjol, mahasiswa ‘dididik’ agar memiliki rasa tanggung jawab dan jiwa petarung. Baginya, sudah saatnya mahasiswa bersikap mandiri termasuk dalam urusan biaya pendidikan. Pernyataan tersebut lantas dinilai kontroversial dan segera menuai kritikan publik.


Dari ‘Masalah’, Untuk ‘Masalah’


Muhadjir menyebut telah ada beberapa kampus yang menerapkan sistem pembayaran UKT melalui skema pinjol. Diketahui salah satu kampus tersebut adalah Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun, sistem pembayaran yang diterapkan ITB dengan menggandeng Danacita segera menjadi kontroversi setelah mahasiswa dihadapkan pada besarnya bunga yang mencekik di setiap cicilan peminjamannya.


Cicilan 12 bulan akan dikenakan biaya bulanan platform 1,75% dan biaya persetujuan 3%, sedangkan cicilan 6 bulan akan dikenakan biaya bulanan platform 1,6% dan biaya persetujuan 3%.


Kenyataan tersebut semakin membuat mahasiswa ‘gigit jari’ mengingat skema pembayaran ini ditawarkan sebagai solusi dari biaya UKT di ITB yang relatif besar dan kebijakan kampus yang mewajibkan setiap mahasiswa untuk membayar UKT terlebih dahulu minimal 40% disamping melunasi segala tunggakan biaya di semester sebelumnya untuk dapat aktif berkuliah.


Mengaburkan Fungsi Pendidikan Demi Cuan


Penerapan skema pinjol di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi satu hal yang mungkin tidak sempat terpikirkan oleh publik. Gagasan tersebut bisa terealisasi diduga akibat penyalahgunaan Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dalam UU tersebut, status PTN berubah menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH). Berbekal status baru, kampus diberikan hak untuk melakukan komersialisasi dalam mengelola keuangannya termasuk dalam ‘mendatangkan keuntungan secara masif’.


Hal ini lantas menggeser arah pendidikan menuju privatisasi dan komersialisasi yang menghasilkan stratifikasi kelas. Pendidikan seakan hanya menjadi kebutuhan eksklusif bagi golongan elit yang mampu membayar, sedangkan golongan ekonomi menengah kebawah hanya dijadikan sebagai ‘mainan’ ataupun ‘objek perasan’ oleh pihak kampus.


Penyitaan VS Perampasan Aset


Dalam wawancara tersebut, Aviantara juga menjelaskan perbedaan antara penyitaan dan perampasan aset. Menurutnya, penyitaan bersifat sementara. Misalnya, aset disita selama proses penyidikan dan tidak boleh dipindahtangankan. Ini berarti aset masih dalam status barang bukti (barbuk) dan menunggu keputusan akhir pengadilan.


Sebaliknya, perampasan aset bersifat permanen. Aset yang dirampas adalah hasil dari tindak pidana yang telah dibuktikan di pengadilan dan putusannya telah berkekuatan hukum tetap. Dengan demikian, perampasan aset merupakan langkah akhir yang diambil setelah proses hukum selesai dan aset tersebut benar-benar terbukti terkait dengan tindak pidana.


Nasib Generasi Masa Depan Digadaikan


Sikap dukungan pemerintah terhadap skema pinjol dalam sistem pembayaran UKT menjadi bahan kritik dan kekhawatiran publik. Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah menilai pemerintah tengah menggadaikan nasib mahasiswa sebagai generasi masa depan melalui praktik pinjol. Trubus menerangkan bahwa melibatkan mahasiswa untuk membayar UKT melalui pinjol adalah langkah yang berbahaya dan justru akan melipatgandakan masalah mereka.


Pinjol mendorong timbulnya tindakan penyalahgunaan dana, meningkatkan beban ekonomi keluarga dan meningkatkan potensi drop out mahasiswa akibat tidak fokus. Selain itu, jerat hutang pinjol bagi mahasiswa menurut Anggota Komisi VIII DPR RI, Wijaya Adi Putra dapat menimbulkan rasa frustasi yang mendorong mereka untuk melakukan tindakan kriminal maupun bunuh diri ketika tak mampu melunasinya.


Pernyataan Menko, Bentuk Putus Asa Pemerintah


Pernyataan Muhadjir terkesan menunjukkan rasa bingung dan keputusasaan pemerintah dalam menghadapi masalah pendidikan yang terjadi belakangan ini. Pernyataannya tampak tidak dipikirkan secara baik dengan memperhatikan efek jangka panjangnya.


Masalah pendidikan sepatutnya menjadi tanggung jawab pemerintah dan sudah menjadi kewajiban pihak otoritas baik pemerintah maupun perguruan tinggi untuk membantu setiap mahasiswa yang mengalami kesulitan dana. Walaupun demikian, pemerintah justru terkesan ingin cuci tangan terhadap kemungkinan masalah yang bakal menimpa para mahasiswa yang menggunakan pinjol. Padahal pemerintah sendiri yang menyarankan dan tidak ada yang dapat menjamin apakah platform pinjol yang digunakan para mahasiswa itu aman sekalipun telah sesuai arahan dan pengawasan pemerintah.


Dibandingkan dengan menerapkan kebijakan pinjol, pemerintah bersama dengan pengelola perguruan tinggi akan lebih baik memberikan subsidi penurunan biaya UKT dan memperbanyak bantuan pendidikan atau beasiswa sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.


 

Referensi:





4 views0 comments

Comments


Submit Tulisanmu

Kirimkan tulisan Anda dan jadilah bagian dari komunitas kami yang berkontribusi dalam berbagai topik menarik yang kami sajikan kepada pembaca setia kami.

bottom of page